Langsung ke konten utama

HUKUM PENGANGKUTAN DI INDONESIA




BAB I
HUKUM PENGANGKUTAN

1.    Pendahuluan
             Adalah penting sekali pengangkutan dalam dunia perniagaan, mengingat sarana ini sebagai angkutan dari prosedur kea gen/grosir, sampai ke konsumen. Dari pelabuhan ke gudang, dari tempat pelelangan iklan ke Pasar, dan lain-lain.
               Mustahil bila ada suatu usaha perniagaan yang mengabaikan segi pengangkutan ini. Di samping itu mengenai pengangkutan benda-benda tersebut yang diperlukan di tempat-tempat tertentu, dalam keadaan yang lengkap dan utuh serta padat tepat waktunya, tetapi juga mengenai pengangkutan ornag-orang yang memberikan perantaraan pada pelaksanaan perusahaan. Ambillah misalnya seorang agen perniagaan, seseorang pekerja berkeliling (handelsreziger), seorang komisioner. Mereka semuanya pada waktu tertentu tidak mungkin memenuhi prestasi-prestasinya tanpa alat pengangkutan; belum lagi terhitung bertambahnya orang-orang yang karena sesuatu hal misalnya untuk peninjauan di dalam atau di luar negeri, mereka tentu memerlukan pengangkutan.
     Akhirnya dapatlah diambil ksimpulan bahwa pada pokoknya pengangkutan adalah pepindahan tempat,baik mengenai benda-benda maupun orang-orang karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.
             Sedangkan pengangkutan itu sendiri tidak hanya di darat,melainkan pula di laut dan udara.






2.     Peraturan-peraturan yang Mengatur Hukum Pengangkutan dalam Perundang-undangan di Indonesia.
                     Dalam KUHD, warisan pemerintah Hindia Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku,di berikan tempat yang sangat banyak untuk mengatur hukum pengangkutan menyebrang laut (Buku ke II Titel ke V mengenai penyediaan dan pemuatan kapal-kapal vervracting en bevracting van scepen; Tjtel ke V A tentang pengangkutan barang-barang; Titel ke V B tentang tentang pengangkutan orang-orang,sedangkan perihal pengangkutan di darat serta di sungai-sungai dan perairan di pedalaman (rivieren en binnen wateren) hanya diberikan sedikit peraturannya saja yang yang terdapat dibagian ke 3 dan bagian ke 2 Titel ke V, buku ke I KUHD. Perhatikanlah bahwa yang saya maksudkan ialah perihal  pengaturannya pengangkutan sebagai demikian yang di berikan secara sumir itu. Lagi pula hanya mengenai barang-barang saja. Sama sekali tidak diadakan peraturan tentang pengangkutan orang-orang di darat dalam KUHD. (Titel ke 13 Buku ke II KUHD, berisikan sedikit peraturan tentang hukum perkapalan di perairan itu sebagai demikian).
     Menurut pendapat Prof.Soekardono,SH. Tentang peraturan-peraturan yang mengatur Hukum Pengangkutan dalam perUndng-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
            Jikalau kita sudah mampu menyusun sebuah KUHD nasional sendiri sebagai sebenarnya telah diinstruksikan kepada kekuasaan-kekuasaan pembuat Undang-undang oleh pasal 102 UUDS dahulu layaklah tentang peraturan mengenai pengangkutan di darat yang agak sedikit itu di dalam KUHD, sekarang di tinjau kembali dan diperluas sekedarnya. Menurut pendapat penulis harus di pertimbangkan, apakah perlu atau tidak untuk sedikit-dikitnya dalam kodifikasi hukum dagang nasional di maksudkan pula asas-asas dasar mengenai pengangkutan dengan kereta api dan dengan kendaraan-kendaraan bermotor (Otobis dan lain-lain ). Pasal 96 ayat 1 KUHD sekarang telah menyinggung pengusaha-pengusaha kendaraan umum (Openbare rijtuigen). Dewasa ini perihal pengangkutan dengan kereta api masih di atur di dalam sebuah peraturan di luar KUHD,
yaitu di dalam Stb.1927-262 (Peraturan-peraturan tentang pengangkutan dengan kereta
api – Bepalingen Vervoer Spoorwegen atau di singkat dengan B.V.S.). mengenai pengangkutan dengan otobis-otobis diatur dalam Undang-undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonanntie) Stb. 1933-86, sebagai diubah dan di tambah 31-39,mengenai pengangkutan orang-orang; Pasal-pasal 40-45 mengenai pengangkutan barang-barang), lebih lanjut di kerjakan di dalam : Peraturan Lalu Lintas Jalan (wegverkeersverordening,) Stb.1936-451 yang telah ditambah dan diubah dengan Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1951,LN.1951.

           Pertimbangan yang sama sebagai dikemukakan di atas,perlu juga diadakan terhadap pengangkutan di udara yang dewasa ini masih diatur di luar KUHD, yaitu di dalam Stb.1939-100 (Ordonnansi Pengangkutan di Udara 0 Luchtvervoerordonnansi); betul kita sekarang telah memiliki sebuah “Undang-undang Penerbangan” yaitu sebuah Undang-undang No.83 tahun 1958.LN. 1958-159, meulai berlaku dengan tanggal 31 Desember 1958,tetapi dengan Undang-undang tersebut yang di cabut ialah “ Luchtvaartbesluit 1932’’ (Stb. 1933-188) dan ‘’Luchtvaartordonantie” 1934 (Stb. 1934-205) dan tidak Stb. 1939-100 termaksud diatas, sehingga ‘’ Luchtvaartordonantie’’ masih tetap berlaku berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Penyempurnaan penunjukan peraturan-peraturan yang berlaku dalam bidang pengangkutan di Udara akan diberikan dalam bagian dari buku ini yang mengenai jenis pengangkutan tersebut.
                Masih ada lagi yang termasuk dalam kategori Hukum Pengangkutan,adalah perihal Pos,karena menyangkut pengiriman Surat-surat. Kesemuanya ini diatur KUHD, yaitu mengenai Pos dalam : 1. “Undang-undang Pos’’ ialah Undang-undang No. 4 tahun 1959. LN.1959-12,mulai berlaku dengan tanggal 1 Juli 1959 (P.P No.24 tahun 1959-39);2. ‘’peraturan Pos Dalam Negeri’’, P.P. 1 dan 2 diatas dicabutlah berturut-turut “Pos-ordonnantie 1935’’, Stb. 1934-720, sebagai sudah beberaa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang No. 1956-75 dan Postverordening 1935 (Stb. 1934-721); postbesluit Dienststukken 1935 (Stb.1934-722).
     Mengenai hubungan Pos Internasional,pemerintah kita telah mengadakan PP.No. 27 tahun 1959, LN.1959 No.42,mulai berlaku tanggal 1 Juli 1959,dengan PP. mana di cabut Internasional Postbesluit 1948 ( Stb. 1949-75 ) dan Internasionale Postverordening 1948 ( Stb. 1949-76 )’’, sebagaimana telah beberapa kali di ubah dan di tambah,terakhir dengan PP. No.42 tahun 1957 (LN.1957-96).
     Mengenai surat kawat dan telepon berturut-turut diatur dalam : Tentang surat kawat :
a.      Dalam ‘’Reglement Telegraph 1950’’, telah di tetapkan dengan keputusan Mentri Perhubungan tertanggal 28 April 1952 No. G 3c/1/12 untuk mencabut ‘’Reglement voor detelegraafdienst in Ned. Indie,Stb.1933-514 sebagai telah di ubah dan di tambah,terakhir dengan keputusan Pemerintah tertanggal 30 agustus 1949 No. 44, Stb.1949-244; mulai berlaku 1 Juli 1950,TLN.1952-246;
b.      Undang-undang No.2 tahun 1957 LN.1957-15, tentang perjanjian Internasionalterhadap Pemberian Jarak Jauh, yaitu ‘’ Convention Internationale des Telecommunications Buenos Aires 1952’’, mulai berlaku taggal 31 Desember 1953;
c.       Surat Keputusan Mentri Perhubungan tertanggal 22 Desember 1953 NO.G 5a/2/1 tentang pemberian izin kepada ‘’Cable and Wiriless Limited’’ di London (dengan penetapan peraturan-peraturannya lebih lanjut)untuk mendaratkan dan mengeksploitasi kabel-kabel telegraf di daerah RI, TLN. No.523.
d.      Perjanjian Internasional untuk melindungi kabel-kabel telegraf di bawah ini permukaan laut (Stb. 1891-231, 232, 233),
Tentang berita-berita telepon: Keputusan Menteri Perhubungan tertanggal 12 Juni 1952 No. G 4c/1/2 tentang penetapan peraturan,syarat-syarat dan tariff-tarif Telepon,TLN.No.250:
Perlu diketahui,bahwa Peraturan-peraturan tersebut di atas belumlah dikatakan lengkap,mengingat sepanjang tahun masih munculnya peraturan baru tentang hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Pengangkutan.







                                                                    
3.      Arti Hukum Pengangkutan bila Ditinjau dari Segi Keperdataa
         Adapun arti hukum Pengangkutan bila ditinjau dari segi keperdataan,dapat kita tunjuk sebagai keseluruhnya peraturan-peraturan, di dalam dan diluar kodifikasi ( KUH Perdata; KUHD ) yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit karena keprluan pemindahan barang-barang dan/atau orang-orang dari suatu kelain tempat untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu untuk memberikan perantaraan mendapatkan.
4.     Pengertian Umum Tentang Hukum Pengangkutan
          Baik di dalam KUH Perdata maupun KUHD (baik yang sudah dikodifikasikan maupun yang belum,yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit karena pemindahan barang-barang dan atau orang-orang dari suatu kelain tempat untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dan perjanjian-perjanjian tertentu, termasuk di dalamnya perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantaraan pengangkutan/ekspedisi.
5.     Sumber Tentang Devinisi Pengangkutan
           Sumber-sumber definisi tentang hukum pengangkutan dapat dijumpai pada Titel ke V Buku II KUHD; LKita jumpai definisi-definisi mengenai perjanjian pemuatan menurut waktu (tijbervrachting) dan menurut perjalanan (ries-Bevrachting), termuat dalam pasal 453 ayat 1 dan ayat 2 KUHD. Perjanjian-perjanjian ini memang merupakan perjanjian-perjanjian  pengangkutan, walupun agak Khusus (akan lebih lanjut dibicrakan pada bagian pengangkutan di laut). Buktinya ialah dalam pasal-pasal 466 dan 521 KUHD sendiri,dalam pasal-pasal mana antara lain dicantumkan: pengangkutan didalam pengeertian titel-titel berturut-turut V A dan V B ini ialah dia yang mengikat dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang menurut orang (penumpang) berdasarkan perjanjian pemuatan menurut waktu atau perjalanan atau berdasarkan perjanjian lain.
     Sebagi contoh dapat diterangkan di bawah ini :
          Pada perbuatan hukum pengangkutan barang itu kita menjumpai pihak pengangkut dan pihak pengirim. Pihak terakhir ini mungkin seorang dengan pihak penerima, misalnya seorang pembeli di Jakarta yang berkediaman di Yogyakarta,mengirimkan benda-benda pembeliannya dengan sebuah bis ke Yogyakarta untuk diterima olehnya di tempat itu. Mungkin pihak pengirim dan pihak penerima adalah lain-lain orang atau badan. Pada perbuatan Hukum pengangkutan orang pengangkut berhadapan dengan penumpang yang harus di bawa ketempat tujuan perjalanan tertentu. Karena tentunya pihak pengangkut itu baik mengenai pengangkutan barang, maupun mengenai pengangkutan orang, harus mendapatkan upah sewajarnya, dapatkah kita menyusun definisi umum tentang perjanjian pengangkutan.
6.     Definisi Tentang hukum Pengangkutan
          Hukum pengangkutan tidak lain ialah : Sebuah perjanjian timbal-balik, pada mana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu,sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau penerima ;penumpang) berkeseharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.

7.     Sifat-sifat Hukum Pengangkutan
         Menurut pasal-pasl 1601 b.bsd 1604 dan seterusnya.KUH Perdata. Dapat dikemukakan bahwa pada pemborongann itu menurut redaksi pasal 1601 b sendiri pihak pemborong harus menciptakan sesuatu tertentu (=een bepaald werk totstand to brengen) bagi pihal yang memborongkan (aanbesteder), jadi sebuah benda baru (gedung,terusan,jalan kereta api, dan sebagainya) yang tadinya belum ada,kenyataannya sukar dapat di gunakan pada pengangkutan,dalam mana sama sekali tidak diperjanjikan perwujudan benda baru,melainkan pengangkut yang baik akan sekeras-kerasnya berusaha,supaya benda-benda muatan yang dipercayakan kepadanya secara utuh dan lengkap,tak berubah (tidak rusak atau berkurang)sampai di tempat tujuan. Pendapat ini banyak yang menolak,antaranya polak II bagian pertama (1920) hal 8.
Di dlam Code Civil di Prancis pun dengan tegas diperbedakn antara perjanjian pengangkutan dan pemborongan,bahkan mengenai perjanjian pengangkutan barang dan orang diatur tersendiri didalam Code Civil itu,yaitu dalam pasal-pasal 1782-1786,pasal-pasal mana kemudian dengan perubahan dioper di dalam W.v.K. di Nederland,pasal-pasal 91 dan seterusnya (sama dengan pasal-pasal 91 dan seterusnya di dalam KUHD sekarang),jadi tidak di oper di dalam B.W> di Nederland.
Teranglah bahwa pengangkutan barang dan/atau orang merupakan pekerjaan tertentu yang harus dipenuhi terhadap pihak yang memerlukan akan pekerjaan itu dengan pemberian upah. Pekerjaan tersebut dilakukan pada waktu-waktu yang diperlukan,walaupun apabila pengangkut menunaikan prestasinya secara baik, pembutuh-pembutuh pengangkutan mungkin akan tetap memakai perusahaan pengangkutan tertentu yang kenamaan. Pada umumnya hubungan hukum antara pengangkut dengan pihak yang memakainya itu adalah bermacam-macam yaitu sama tinggi-sama rendah atau kedua belah pihak adalah ‘’gecoordineerd’’. Tidak ada imbangan majikan terhadap buruh (atasan terhadap bawahan) atau imbangan ‘’gesubordineerd’’ pada hubungan hukum antara pemakai pengangkutan dan pengangkut. Karena itu sifat perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian untuk melakukan pelayanan (atau jasa) berkala (een overeenkomsttot het verrichten van enkele diensten),pasal 1601 KUHPerdata.
Yang berpendapat demikian adalah Polak,bagian pertama (1920),halaman 7; Molengraaf,jilid IV (9) halaman 906; Volmar I (8), halaman 202. Sebagai diuraikan diatas, penulis sendiri berpihak kepada penulis-penulis ternama itu.
Untuk mengadakan system hukum yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia, untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang atau orang tidak diisyaratkan harus secara tertulis. Jadi cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja. Dalam pengangkutan barang menyebrang, yaitu dalam perjanjian pemuatan;masing-masing pihak,yaitu penyediaan kapal (vervracter) dan pemakai penyedian kapal (bervrachter),dapat diminta supaya dibuat akte yang dinamakan charterparty (pasal 454 KUHD). Baik akte ini, maupun surat angkutan (vrachtbrief) dalam pasal 90 KUHD, merupakan surat-surat bukti,bukan untuk mengadakan perjanjian sebagai demikian.
8.     Peraturan untuk Mendapatkan Pengangkutan: Ekspeditur,Pengusaha Pengangkutan (transport prdernemer)
            Dalam dunia perdagangan,adanya perantara adalah lazim. Demikian pula dalam usaha pengangkutan. Hal ini karena orang ingin mendapatkan ongkos yang murah dan pelayanan yang baik.
        Perantara-perantara tersebut kita jumpai dengan penunjukan Ekspeditur dan pengusaha-pengusaha pengangkutan. Perihal ekspeditur di dalam Titel ke V, bagian ke 2 Buku ke 1 KUHD.
       Mengenai pengusaha-pengusaha pengangkutan tak di dapatkan peraturannya di dalam KUHD; juga tentang golongan pengusaha-pengusaha pengangkutan ini akan lebih luas diterangkan kemudian. Untuk sementara mendapatkan pengertian tentang kemudian. Untuk sementara mendapatkan pengertian tentang ekspeditur itu, menurut gambaran pembuatan Undang-undang dalam pasal 86 ayat 1 KUHD; ia (ekspeditur itu) melulu mencarikan pengangkutan terhadap barang-barang bergerak bagi pihak pengirim,baik mengenai pengangkutan di darat, maupun di peraliran termasuk di laut.
      Tetapi dalam praktek tidak saja ekspeditur itu mencarikan pengangkutan terhadap barang-barang yang akan dilaksanakan oleh orang lain (pengangkut), misalkan biasanya ia menjalankan pengangkutan sendiri, bahkan ide pembuat Undang-undang tersebut dalam pasal 86 ayat 1 adalah sekarang sangat jarang terjadi. Mengenai pengusaha pengangkutan, pihak ini membebankan diri untuk menyelenggarakan seluruh pengangkutan antara tempat permulaan pengiriman sampai tempat tujuan untuk biaya yang ditetapkan sekaligus .
9.     Asas-asas daripada Hak Penerima Barang.
           Agar lebih jelas untuk mengetahui asas-asas dari hak penerima barang,sebaiknya kita menjabarkan sendiri dari para ahli mengenai ini,mengingat belum seragamnya pendapat. Menurut Prof.Soekardono, SH, menguraikan bab ini sebagai berikut: di dalam perjanjian antara pengirim dan pengangkut diadakan ketentuan juga, agar supaya pengangkut menyerahkan barang angkutan kepada yang dialamati. Ketentuan di dalam perjanjian pengangkutan bagi kemanfaatan pihak ketiga,yaitu pihak yang dialamati tersebut, adalah tak lain daripada penggunaan kemungkinan membuat klausula bagi kepentingan pihak ketiga di dalam sebuah sebuah perjanjian, sebagai diatur di dalam pasal 1317 KUHPerdata.
          Demikian pendapat Dorhout mees (bukunya termasud 1953,halaman 302); Molengraaff (Molengraaff IV (9), halaman 924); Polak (Polak, II, bagian pertama (cetakan 1920),halaman 13); juga Vollmar I (8), halaman 203.
          Pendapat lain menyatakan tentang adanya cassie atau penyerahan hak-haknya menagih pihak pengirim atas pihak pengangkut kepada si-penerima secara diam-diam (ditunjuk di dalam Polak II tersebut, halaman 14 dan di dalam Vollmar pada halaman yang sama). Saya rasa bahwa cassie dengan cara diam-diam itu akan sangant bertentangan dengan makna pasal 613 ayat 2 KUH perdata . ada pula pendapat yang mau menganggap pihak pengirim sebagai pemegang-kuasa atau pengurus kepentingan (Zaawaarnemer) si-penerima (ditunjuk di dalam polak II dan Vollmar I tersebut, pada halaman-halaman yang sama). Pendapat inipun tidak akan sesuai dengan kenyataan bahwa perbuatan pengirim oleh pengirim itu biasanya merupakan prestasi-utama, terbit dari perjanjian antara pengirim dan penerima, jual-beli (dalam kebanyakan hal),pada mana penerima adalah pembeli.
          Bagaimanapun; barulah pengangkut akan berurusan dengan penerima, apabila penerima ini menunjukan kehendaknya dengan mau menerima barang-barang angkutan termaksud. Semenjak kehendak ini terang-terangan di lahirkan misalnya pihak dialamati itu memberitahukan kehendaknya kepada pengangkut, sudahlah pihak dialami membuktikan kemauanya menggunakan ketentuan baginya di dalam perjanjian pengangkutan. Semenjak saat inilah pengirim tidak berwenang lagi mengubah tujuan pengiriman barang-barang, pasal 1317 ayat 2 KUH Perdata.
          Kesediaan menerima barang-barang tersebut berartu juga bagi pihak dialamati bahwa ia lalu harus membayar biaya pengangkutan,kalau ini ditagih daripadanya oleh pihak pengangkut pada waktu penyerahan barang-barang angkutan. Pada angkutan itu karena dengan kesediaannya pihak dialamati untuk menerima barang barangnya ditempuh tujuan menuruti yang ditetapkan di dalam perjanjian pengangkutan, penerima lalu memasuki perjanjiaan pengangkutan tersebut dan menaklukkan diri kepada seluruh perjanjian itu. Penaklukan ini berarti pula penetapan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya penerima, mengenai yang terakhir ini misalnya pembayaran biaya pengangkutan termaksud di atas. Sudah barang tentu perihal pembayaran biaya itu dapat diatur lain antara pengirim dan penerima. Ini adalah di luar kepentingannya pengangkut. Baginya adalah terpenting memperoleh pembayaran biaya itu,baik dari pengirim,maupun dari penerima.
          Hak menahan (retentive) pada umumnya tidak diperkenankan oleh pembuat Undang-undang. Jadi apabila tuntutan pembayaran oleh pengangkut pada ketika penyerahan barang-barang tidak dipenuhi oleh penerima pengangkut (jika ini mengenai pengangkutan di darat) dapat menuntut pembayaran biaya itu dengan jalan yang ditunjuk dalam pasal 94 KUHD. Hakim Pengadilan Negri (untuk selanjutnyadisingkat dengan PN) atas permohonan pengangkut dapat memerintahkan penjualan umum dari barang0barang angkutan yang tak dibayar biayanya angkutan itu. Penjualan di depan umum ini adalah untuk menjamin keberesan penjualan bagi kepentingan penerimanya.
          Tidaklah ada keberatan bahwa pihak yang dialamati sudah member tahukan kehendaknya untuk menerima barang-barang kiriman yang diangkut, sebelum barang-barang itu sampai di tempat tujuan,akan tetapi hak untuk memberitahukan itu tidak lalu berarti bahwa pihak dialamati berhak minta penyerahan barang-barang angkutan sebelum barang-barang ini sampai ditempat tujuan itu dan dalam perjanjian mana pihak dialamati dengan kesediannya untuk menerima barang-barang angkutan,sudah memasukinya. Perubahan tempat tujuan hanya mungkin, apabila itu disetujui terlebih dahulu oleh pengirim dan pengangkut (pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata).
10.             Pengangkutan di Darat
           Dalam buku ke 1 Titel ke – V bagian – 3 KUHD di tegaskan,bahwa pengangkut-pengangkut yang melalui darat dan nakhoda-nakhoda yang melayari sungai-sunagi dan peraliran-peraliran di pealaman,termasuk terusan dan danau-danau.
             Kalau dilihat dari bunyi titel tersebut ke 13, pasal-pasal 748 dan seterusnya, diatur pula tentang kapal-kapal dan lain alat-alat pelayaran yang melayari sungai-sungai dan peraliran-peraliran di pedalaman,tetapi Titel ke 13 itu terlalu erat hubungannya dengan Hukum perkapalan yang diatur di dalam buku ke II KUHD, sehingga lebih baik tidak diuraikan sekarang ini.
          Untuk selanjutnya perlu ditegaskan bahwa bagian ke 3 Titel V Buku I KUHD, itu hanya mengenai pengangkutan barang-barang, bukan mengenai pengangkutan orang-orang juga; Jadi dalam rangka (opzet)nya memang adalah terbatas, akan tetapi tidaklah terbatas perihal alatnya pengangkutan. Alat pengangkutan maupun termasuk,asalkan tidak digunakan untuk melayari laut. Juga mengenai orang-orangnya pengangkut tidaklah terbatas, sehingga termasuk pula pengusaha-pengusaha perpindahan rumah; penguna-pengguna sepeda-pengangkutan,pengangkut-pengangkut koper dan lain-lain bagasi di stasiun,dan sebagainya.
          Pentinglah artinya putusan Hof Arnhem tertanggal 1 Mei 1917,Nj. 1917-960; W 10187, disebut di dalam bukunya Molengraaff tersebut halaman 960, karena kita antara lain di Jakarta dan lain-lain kota di Indonesia mengenal beberapa pengusaha-pengusaha perpindahan rumah. Menurut putusan tersebut rangkaian perbuatan pembungkusan barang-barang, pengangkutannya, penempatannya barang-barang dan pembukaannya kembali dari barang-barang terbungkus itu merupakan pelaksanaan sebuah perjanjian pengangkutan.
11.             Pengusaha Pengangkutan
          Di dalam undang-undang pasal 91 dan seterusnya ……, yang dimaksudkan dengan pengangkut dan nakhoda adalah juga pengusaha. Jadi pengangkut dan nakhoda bukan sekedar menjalankan atau melayari sendiri alat pengangkutan, tetapi juga berwenang mengadakan pengangkutan dan memikul beban risiko tentang keselamatan barang-barang yang diangkut.
         Pendapat ini antara lain oleh Polak dan Molengraaff pada pokoknya didasarkan atas persamaan kedudukannya pengangkut dan nakhoda dalam pasal91 yang sama dengan kedudukannya pengusaha-pengusaha kendaraan umum (ondernemers van openbarerijtuigen) dalam pasal 96. Memang akan ganjil adanya,apabila kepada berjenis-jenis pengangkut yang diatur dalam satu bagian dari KUHD, diberikan kedudukan-kedudukan yang berlain-lain.
          Untuk tegasnya tentang maksud pembuat undang-undag dalam bagian ke III Buku ke I KUHD, itu mengenai siapakah yang disebut dengan pengangkut (voerman) dan nakhoda (schipper) didalam pasal 91 dan seterusnya itu,ada baiknya di tujuk pada putusan H.R. tertanggal 27 Desember 1895, W 6755, dikemukakan dalam Molengraaff tersebut,dengan putusan mana H.R. mengartikan perkataan ‘’ Schipper’’ (nakhoda)dalam pasal 91 sebagai orang yang menjanjikan pengangkutan (hij die het vervoer op zich neemt),bukan ia yang menurut kenyataan ditugaskan menjalankan dan bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan (niet degene die,buiten het vervoercontract stande, met het feitelijk vervoer is belast). Pengertian ini menurut penulis dapat di pakai pula untuk menafsirkan istilah pengangkut (voerman). Dengan demikian tidaklah benar pendapat Recht bank Den hag yang dengan putusan tertanggal 17 april 1894, W 6523, menafsirkan ‘’Schipper’’ tersebut sebagai orang yang selama berjalannya pengangkutan, menguasai langsung atas alat pengangkutan bukan si pemilik atau pengusahanya.
     Jadi kita dapat menetapkan bahwa maksud pembuat Undang-undang di dalam pasal 91 sampai dengan KUHD, adalah memberikan peraturan-peraturan,kepad mana takluklah pengusaha-pegusaha pengangkutan manapun juga mengadakan perjanjian-perjanjian pengangkutan barang melalui darat,sungai-sunagi,terusa-terusan dan lain-lain peraliran di pedalaman (jadi tidak melalui,yaitu melayari laut),
12.            Undang-undang tentang Perantara yang Ditunjuk oleh Ekspeditur
          Tidak adanya peraturan tentang pengusaha pengankutan dalam KUHD tersebut di atas adalah suatu bukti tentang ‘’ ketinggal zaman ‘’ nya dari KUHD. Padahal perantaraan pengusaha-pengusaha itu dalam soal pengangkutan barang besar sekli artinya. Yang diatur dalam KUHD mengenai pemberian perantaraan dalam hal pengangkutan barang ialan ekspeditur,Titel V, bagian ke 2, Buku ke I.
          Adapun persamaan antara ekspiditur dengan pengusaha angkutan ialah bahwa mereka dua-duanya memberikan perantaraan dalam hal pengangkutan barang-barang antara pengirim dan penerima, yaitu meliputi jarak dari tempat keberangkatan hingga sampai tempat tujuan, akan tetapi dan di sini mulai tampak perbedaan dalam fungsinya masing-masing; ekspiditur   mencarikan pengangkut bagi pengirim,biasanya dengan bertindak dengan atas nama sendiri (ingatlah terhadap komisioner terhadap komitmen), akan tetapi biasanya tidak mengangkut sendiri; jadi biasanya ekspeditur tidak mengadakan perjanjian pengangkutan antara dia dan pengirim. Ia mempertemukan pengiriman dengan pengangkut yang ia pilih dengan atau tidak dengan persetujuan pengirim. Dalam hal terakhir ini apabila ekspeditur bertindak atas nama sendiri dan menurut maksud perjanjian antara dia dan pengirim, pemilihan pengangkutan diserhakan kepada ekspeditur. Biasanya ekspeditur jadi tidak mengangkut sendiri (dalam pengertian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan menghadapi pengirim)
          Sama sekali lain halnya dengan pengusaha pengangkutan. Ia malah mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pengirim untuk sejumlah biaya angkutan sekaligus, hanya ia tidak menjanjikan bahwa dia sendir(sebagai pengusaha) akan menyelenggarakan seluruh pengangkutan itu akan terselenggarakan dengan biaya komplit tertentu dan sekaligus, lain tidak dan terutama ia tidak menjanjikan akan mengangkut sendiri. Pengangkutan sesungguhnya dapat dijalankan sendiri oleh pengangkut-pengangkut lainnya. Penggunaan jasanya pengusaha pengangkutan itu terutama akan terjadi pada pengangkutan berangkai atau lanjutan (doorgaand vervoer), dengan demikian mungkin dengan menyebrang laut. Dalam hubungan ini tidaklah mengherankan kalu pengusah pengangkutan itu termasuk dalam pengertian pengangkut dalam pasal 466 KUHD.
          Meskipun ini diakui oleh Dorhout Mees,tetapi beliau masih menunjukan akan perbedaan perusahaannya pengangkut, terutama kolom pengusaha pengangkutan itu menurut kenyataan tidak mengangkut sendiri. Jadi pengusah pengangkutan itu tidak menjamin pengangkutan dengan kapal atau alat alat pengangkutan itu tidak menjamin pengangkutan dengan kapal atau alat pengangkutan tertentu.
          Singkatnya, perihal pengusaha itu tidak diatur dalam KUHD. Walaupun demikian,beberpa pasal seperti pasal 93, 94 (mengenai kerusakan atau pengurangan yang tidak dapat dilihat dari luar; penolakan barang-barang kiriman atau perselisihan mengenai penolakan itu), 493 dan seterusnya (larangan hak menahan bagi pengangkut) adalah penting pula bagi pengusaha pengangkutan.
          Dengan putusannya tertanggal 17 Juni 1921, W. 10780.N.J 1921, 974, yaitu sebelum terjadi perubahan-perubahan dalam buku ke II W.v.K. de Nederland,H.R. memutuskan bahwa pasl 95 KUHD tidak berlaku bagi pengusaha pengangkutan. Dasar pertimbangannya mengenai seluruh bagian ke 3 Titel ke V Buku ke W.v.K.Ned (pada pokoknya sesuai dengan bagian dan Titel yang sama Buku ke I KUHD), bagian mana sesungguhnya mengatur tentang pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut-pengangkut / nahkoda-nahkoda sebagai pengusaha-pengusaha berdiri sendiri (Dorhout Mees tersebut). Dengan cara yang mengherankan peraturannya yang mengenai terjadinya perjanjian tersebut didapatkan.


13.            Surat pengangkutan
          Mengenai ‘’surat pengangkutan’’,Prof.soekardono,SH, menguraikan sebagai berikut : Dalam pasal 90 diterangkan bahwa surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim/ekspeditur dan pengangkut/nakhoda.
          Sebetulnya tanpa surat angkutan itu perjanjian, apabila telah tercapai persetujuan kehendak antar kedua belah pihak, sudah ada, sehingga surat angkutan tadi hanya merupakan surat bukti belaka mengenai perjanjian angkutan, sekedar pengangkut/nakhoda suka menerima barang untuk diangakut menurut penyembutan dan dengan syarat-syarat, sebagai tertulis di dalam surat angkutan itu.
          Tidak mungkin demikian saja surat angkutan itu,karena hanya ditandatangani oleh pengirim atau ekspiditur saja (pasal 90 ayat I sub 6 KUHD), seketika dapat mengikat pengangkut / nakhoda.
          Barulah akan mengikat mereka dan dengan demikian akan merupakan surat bukti dari perjanjian pengangkutan, semenjak pengangkutan sudah mau menerima barang-barang angkutan dengan penyertaan surat angkutan termaksud.
         Agar pengirim juga memegang sekedar pembuktian, baiknya ia minta turunan (duplikat) dari surat angkutan dengan disahkan oleh pengangkut/nahkoda atau pengirim minta sepucuk tanda penerimaan barang-barang dari pengangkut. Biasanya surat angkutan tersebut dengan barang-barangnya ditempat tujuan diserhakan kepada pihak dialamati.
          Dengan demikian pihak ini dapat mencocokan barang-barang yang dikirim kepadanya itu dengan surat angkutan; siapa pengirimnya; lagi pula tentang syarat-syarat pengangkutan,sehingga pihak dialamati dapat memahami hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai pihak dialamati.
          Tinjauan lanjut mengenai pasal 90 KUHD kita dengan masih adanya pasal ini harus benar-benar memahami bahwa pembuat undang-undang tidak dengan sungguh-sungguh bermaksud untuk mewujudkan perkataan-perkataannnya sendiri yang berbunyi “De vrachtbriefmaakt de overenkomst uit tusschen dan afzender of exspeditur en den voerman of den schipper”,yang berarti : “surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dengan pengangkut atau nakhoda”, kalau benar-benar dimaksudkan sebagaimana diucapkan itu,tentunya disamping penandatangan pengirim atau ekspeditur, sub 6 ayat 1 pasal 90, harus pula diisyaratkan adanya penandatangannya pengangkut atau nakhoda atas surat angkutan. Perjanjian pengangkutan ini bersifat timbal balik, sehingga kalau surat angkutan itu ‘’merupakan perjanjian’’ sebagai dimaksudkan diatas, harus pula di atasnya didapat tanda tangan pihak pengangkut/nahkoda. Karena ini malahan tidak diminta oleh pasal 90 KUHD. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa surat angkutan itu yang pada permulaannya diadakannya oleh pengirim/ekspeditur, adalah sepucuk surat sepihak yang lalu oleh pengirim/ekspeditur dengan barang-barangnya diserahkan kepada pengangkut/nakhoda.
          Molengraaff (jilid IV (9), 909) menunjuk surat angkutan itu sebagai sepucuk surat pengantar terbuka, ditujukan kepada pihak dialamati.
          Baru dengan diterimanya baik oleh pengangkut/nakhoda itu tentang surat angkutan plus barang-barangnya, surat angkutan itu lalu jadi surat bukti tentang perjanjian pengangkutan antara pengirim/ekspeditur dengan pengangkut /nakhoda.
          Pengangkut/nakhoda sebagai pihak dalam perjanjian pengangkut ( cukup dengan lisan) berhak minta pemberian surat angkutan yang terbuat sesuai dengan pasal 90 KUHD. Ia berhak memegang sepucuk surat itu untuk dapat menyelidiki barang-barang apa saja ia menerima untuk pengangkutan dari pihak pengirim/ekspeditur. Jika bertambah banyaknya pengangkutan barang-barang, pengangkut, apalagi kalau barang-barangnya itu (dan biasanya)telah terbungkus ketika diserahkan. Ini akan sangat menghambat kelancaran lalu lintas pengangkutan. Pengangkut dalam hal ini sebaliknya dengan persetujuannya pengirim minta dicatat dalam surat angkutan bahwa ia (pengangkut)sementara hanya dapat mengontrol dari luar saja. Pengirimlah dimana perlu, harus kemudian membuktikan bahwa pemberitaannya dalam surat angkutan adalah sudah benar. Surat angkutan tanpa catatan apa-apa dari pihak pengangkut/nakhoda ditunjuk sebagai surat angkutan bersih (schoone vrachtbrief).


14.             Isi surat angkutan.
          Dalam mengisi isian jumlah biaya angkutan dari surat angkutan ini tidak perlu di isi seketika, karena kemungkinan besar masih memerlukan banyak pertimbangan,pengukuran-pengukuran maupun perhitungan pertimbangan-pertimbangan serta penghitungan barang-barang lebih dulu oleh pengangkut.
          Adapun yang harus diisi sebagai berikut :
a.      Nama, berat atau ukuran barang-barang angkutan, merek-merek dan jumlahnya;
b.      Nama pihak dialamati (sayang tak disebutkan menurut Undang-undang tentang tempat kediaman pengangkut pihak dialamti; ini toh perlusekali, sebab kesitulah barang-barang harus dikirimkan);
c.       Nama dan tempat kediaman pengangkut/nakhoda;
d.      Jumlah biaya angkutan;
e.      Penanggalan surat angkutan
f.        Penandatanganan pengirim atau ekspeditur;
g.       Apa-apa yang selanjutnya masih diperjanjikan antara pihak-pihak,misalnya mengenai jangka waktu didalam waktu mana pengangkut harus diselesaikan;penggantian kerugian kalau ada kelambatan dan lain-lain hal.
15.             Wajib daftar oleh ekspeditur
           Sesuai ketentuan yang berlaku pada pasal 90 ayat (2),ekspeditur dibebani kewajiban mendaftar surat angkutan itu dalam register hariannya. Kekurangan dalam Undang-undang ini ialah bahwa pendaftaran itu tidak dibebankan pula pada pengangkut sebagai pengusaha.
            Sekedar tentang pengisian dalam surat angkutan mengenai apa-apa yang selanjutnya masih diperjanjikan antara pihak-pihak (No.52 sub 7 di atas ). Kemungkinan ada bahwa ekspeditur /pengirim yang telah memilih seorang pengangkut/nakhoda tertentu,dengan pihak-pihak ini lalu sudah dengan lisan merundingkan dan menentukan yang bersangkutan dan mengingat akan fungsi pembuktian dari surat angkutan itu, sudah sewajarnya ketentuan-ketentuan khusus tersebut dimasukkannya juga.
16.             Arti penting Pembebanan wajib daftar
            Kepentingan para pengirim akan benar-benar terpelihara,kalau kepada pengusaha-pengusaha pengangkutan dibebani wajib pendaftaran surat-surat angkutan, karena para pengirim dipermudah mendapatkan bahan-bahan pembuktian, jika ini diperlukan.
            Bahwa pendaftaraan tersebut sudah di bebankan kepada para ekspeditur memang benar, tetapi tidak semua pengiriman memakai perantaraannya ekspeditur.
17.             Kemungkinan Penerbit Surat Angkutan atas Pengganti
        Adalh mungkin (molengraaf jilid IV (9), halaman 909) surat angkutan tersebut dibuat atas nama pihak yang dialamati atau pengganti haknya (aan order), sehingga surat angkutan itu dapat diperdagangkan. Penerbit atas pengganti (penggantian kreditur, aan order-stelling) pada umumnya tidaklah dilarang, keculali kalau Undang-undang atau suatu peraturan berdasarkan Undang-undang melarangnya; jadi hanya mengizinkan penerbitan atas nama, misalnya dalam pasal 41 KUHD. Surat angkutan atas penggantian termaksud, tentu atas nama pihak dialamti atau penggantinya akan mirip dengan konosemen,atau dokumen angkutan barang-barang menyebrang laut yang sangat penting artinya dalam dunia perdagangan internasional,pasal 506 ayat-ayat 1,2 KUHD. Pentingnya konosemen tadi terutama terletak pada kemungkinan memperalihkan hak atas barang-barang angkutan,sebelum penyerahnya di tempat tujuan, pasal 51 7a KUHD, ialah terbawa oleh jarak sangat jauh yang ditempuh oleh kapal pengangkutan menyebrang Samudera. tetapi dalam pengangkutan di darat (pedalaman) kirannya pembukaan kemungkinan untuk memperalihkan hak atas barang-barang yang diangkut sebelum penyerahannya ditempat tujuan,jadi masih didalam perjalanan, tak akan banyak dirasakan sebagai perlu ).
18.            Kewajiban –kewajiban dan hak-hak Para Pengangkut /nakhoda Isi wajib Prestasi bagi Pihak Pengangkut.
          Dari perjanjian pengangkutan barang-barang tersebut terbit bagi mereka, perikatan untuk memberi (verbintenis omte genven), pasal 1235 KUH Perdata.bersambung dengan pasal-pasal 1338 ayat-ayat 1 dan 3 KUH Perdata perikatan di muka berarti;
Dengan mentaati perjanjiaan pengangkutan in kokreto,pengangkut dengan itikad baik harus menyelenggarakan pengangkutan barang-barang yang dipercayakan kepadanya itu dengan baik-baik dan dengan sendiri juga dengan secepat-cepatnya; lagi pula pengangkut selama pengangkutan,ialah mulai diterimanya barang-barang sampai diserahkannya kepada (biasanya) pihak dialamati di tempat tujuan,harus memeliharanya dengan baik-baik juga, ialah sepertinya ia seorang tuan rumah yang baik terhadap barang-barang pengangkutan itu dengan lengkap dan jelas dapat diserahkan ditempat tujuan kepada yang berhak menerimanya.
19.             Pembayaran Biaya Angkutan Kepada Pihak Pengangkut.
            Sebagai prestasi balasan haruslah dibayar biaya pengangkutan kepada pengangkut. Karena biasanya pihak pengirim itu adalah lain daripada pihak penerima,liaht No 13 tergantunglah dari perjanjian antra mereka, siapakah yang harus membayar biaya pengangkutan. Dapat pula diperjanjikan apakah pembayaran biasanya pengangkutan. Dapat pula diperjanjikan apakah pembayaran biasanya pengangkutan itu sudah harus dibayar pada ketika mengirimkan barang-barang atau pada saat penerima barang-barang ditempat tujuan oleh penerima. Pada pengangkutan di darat ini tidaklah di dalam Undang-undang didapatkan asas-utama mengenai saat pembayaran biaya pengangkutan,sebagai diatur dalam pasal 491 KUHD mengenai pengangkutan barang-barang menyeberang laut. Jikalau di sini disebutkan bahwa baru sesudah penyerahan barang-barang di tempat tujauan dilakukan, pihak penerima harus membayar biaya tersebut dan lain-lain perongkosan menurut dokumen-dokumen, berdasarkan mana penerima mendapatkan penyerahan barang-barang itu, dalam Titel V bagian ke 3 Buku ke I KUHD tentang soal bilakan pembayaran biaya tersebut harus dilakukan, tidak diatur. Menurut Dorhout Mees (1953), halaman 321, rupa-rupanya Undang-undang menghendaki bahwa biaya tersebut harus dibayar lebih dahulu. Beliau mendasarkan pendapat itu atas pasal 94 KUHD, menurut pasal mana kepada pengangkut diberikan jaminan tentang pembayarannya atau tentang penerimaan itu menjadi perselisihan.



20.            Prosedur yang Digunakan Pengangkut.
Prosedurnya adalah sebagai berikut: pengangkut mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk menuntut penyelidikan barang-barang yang ditolak penerimaanya itu oleh seorangahli atau lebih. Pihak lawan,yaitu yang menolak penerimaan barang-barang tersebut,apabila ia berada di tempat kedudukan Pengadilan Negeri, didengar atas surat permohonan itu. Jika cukup beralasan, hakim akan memerintahkan ekspertise tersebut dan penyimpannya barang-barang di dalam tempat penyimpanan yang wajar, agar memungkinkan dapat dipakai sebagai obyek-obyek dari mana kepada pengangkut dapat dibayarkan biaya pengangkutan dan lain-lain ongkos yang bersambungan.
Bilamana perlu dan tentunya harus beralasan, Pengadilan Negri, atas permohonannya pengangkut dan setelah seberapa boleh mendengar pihak penerima atau ini sudah dipanggil dengan cukup, dapat memerintahkan penjualannya barang-barang yang lekas rusak dan lain-lain barang juga dari yang disimpan itu,supaya pengangkut dapat pembayaran biaya pengangkutan dan lain-lain perongkosan termaksud yang belum dibayar oleh penerima. Supaya dapat dijauhkan kecurangan-kecurangan,maka penjualan harus diadakan didepan umum.
Dorhout Mees tersebut (halaman 321) mengemukakan bahwa pengangkut tidak harus menempuh jalan yang terbuka baginya dalam pasal 94 KUHD itu, tetapi tidak mengatakan jalan apa lainnya yang ia,pengangkut ,dapat memakai untuk mendapatkan pembayara. Menurut pendapat saya malahan pasal 94 itu memberikan jalan baginya yang termudah, karena oleh pembuat Undang-undang dicukupkan dengan penggunaan prosedur volunter. Dari hakim dimintakan tindakan cepat untuk seberapa boleh dan sejauh mungkin, memulihkan keberesan dalam tata tertib pelaksanaan perjanjian pengangkutan.
Kita teringat akan jalan yang mudah juga dengan penggunaan prosedur nolunter yang terbuka bagi komisioner mengenai tuntutan pembayaran penagihan-penagihannya terhadap komisioner mengenai tuntutan pembyaran penagihan-penagihannya terhadap komiten,sebagai dalam pasal 82 KUHD.
21.            Pasal 91,92 KUHD tentang Wajib Prestasi Pengangkutan.
kewajiban-kewajiaban pengangkut sebagai tertunjuk pada no.57 di atas dan sebenarnya telah diatur dalam hukum perjanjian didalam KUH Perdata, lalu dipertajam dalam pasal-pasal 91 dan 92 KUHD. Pasal pertama ini membebankan penggantian segala kerugian yang selama perjalanan diderita pada barang-barang angkutan kepada pengangkut. Sebenarnya ini telah dapat disimpulkan dari isi kewajibannya untuk penyerahan barang-barang itu di tempat tujuan secara lengkap,tak berkurang dan utuh kepada pihak penerima; lihat juga pada pasal 1244 KUH Perdata. Kewajiban tadi berarti pula bahwa pengangkut harus mencegah pengangkutan yang terlambat. Teranglah bahwa ditinjau dari sudut ini, pasal 92 KUHD adalah berlebih-lebihan.
22.            Alasan-alasan Mendisculpir Dirinya (pengangkut)
Undang-undang memperkenankan kepada pengangkut untuk membuktikan bahwa kurangnya kesempurnaan prestasi (barang-barang berkurang pada saat penyerahan) atau prestasinya yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan waktu penyelesaian pengangkutan (beberapa barang ternyata rusak atau cacat yang terlihat dari luar; terlambat sampainya sampainya ditempat tujuan) atau sama sekali tidak berprestasi (semua barangnya lenyap atau rusak, tak dapat dipergunakan sama sekali) semuanya itu adalah disebabkan:
a.      Cacat yang melekat pada barang atau barang-barangnya sendiri;
b.      Kesalahan dan/atau kelalaian sendiri pada pengirim/ekspeditur.
c.       Keadaan memaksa (overmacht)
Dalam perselisihan yang diajukan dan diperiksa di depan Hakim pihak penerima-penggugat cukup mendalilkan tidak adanya prestasi sama sekali dn sebagainya tersebut dari pihak pengangkut-tergugat dan menuntut penggantian kerugian seperlunya; penggugat tidak perlu mendalilkan dan membuktikan kesengajaan atau kelalaian tergugat. Diskulpasi menurut Undang-undang ialah termuat dalam pasal 1244 KUh Perdata.
Cacat dan lekat pada barang-barang sendiri.
Dengan cacat ini dimaksudkan,pembawaan (eigneschap) dari barang-barang tertentu yang menyebabkan kerusakan benda atau benda ini jadi terbakar di dalam perjalanan;pendeknya pembawaan-pembawaan pada benda-benda sendiri yang menyebabkan benda-benda itu tidak tahan lama begitu lama dalam pengangkutan yang normal. Lain hal adanya kalau rusak atau bercacatnya barang-barang itu adalah akibat misalnya dari penempatan tak kurang tepat dalam alat pengangkutan,jadi tidak dilakukan dengan sekedar keahlian (onkundig). Kerusakan atau kemunduran nilai benda yang dimaksudkan terakhir ini, jika terbukti (kalau perlu) tentu atas beban pengangkut.
Kesalahan dan/atau kelalaian sendiri pada pengirim/ekspeditur, misalnya peti-peti berisikan benda-benda pengiriman yang ternyata kurang kokoh; atau peti-peti yang ternyata kurang rapat dan mudah dapat dimasuki air, dan sebagainya. Dengan contoh dalam bukunya Dorhout Mees termaksud halaman 303,yaitu pembungkusan barang-barang yang kurang mencukupi, menurut pendapat saya tak selalu pengangkut dapat mendiskupir dirinya, terutama jika ia pada waktu pemasukan atau pemuatan benda didalam pembungkusan yang kurang beres itu dan seketika dapat terlihat, tidak terus menolaknya; setidak-tidaknya tidak minta dicatat dalam surat angkutan.
Keadaan memaksa (overmacht), dalam pasal 91,92 KUHD hanya ditunjuk pada keadaan memaksa ini.sedangkan dalam pasal 1245 KUH Perdata pada keadaan memaksa atau peristiwa kebetulan (toeval), sehingga pernah timbul pernyataan,apakah perbedaannya antara dua-duanya istilah itu.
Dengan Polak (II, bagian pertama,1920;halaman 28) dan Molengraaff (IV, cetakan ke 9, halaman-halaman 913,915) saya berpendapat bahwa anatara dua istilah itu tidak ada perbedaan. Karena dua-duanya,jika terbukti, mengakibatkan bahwa debitur, dalam hal ini pengangkut,jadi terbebas dari tanggung jawabnya.
Bahwa dua istilah tadi sesungguhnya isinya sama, dapat pula kita simpulkan dari penjelasan resmi yang diberikan dalam pasal 1244 KUH Perdata sendiri. Dalam pasal ini disebut tentang ‘’ sebab yang tak dapat diduga semula” atau vreemdeoorzak yang karenanya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur.
Berartikah keadaan memaksa itu harus sedemikian rupa ujudnya atau kerasnya, sehingga harus ditinjau secara obyektif, yaitu apakah benar-benar sama sekali tidak ada kesalahan atau kelalaian sedikitpun pada debitur? Pembuat Undang-undang sendiri menyesuaikan kepada pertumbuhannya yurisprudensi,tidak bersikap begitu keras, karena dalam pasal-pasal 468 ayat 2 dan 522 ayat 2 KUHD istilah-istilah “overmacht of toeval” di atas malahan sama sekali dikeluarkan dari redaksi pasal-pasal itu dan ditekankan kepada pengertian subyektif overmatch. Pada pokoknya pada ajaran ini dititikberatkan pada jawaban atas persoalan, apakah oleh debitur di dalam keadaan kinkrit menurut pertimbangan yang lazim sudah dijalankan segala ikhtiar pencegahan,akan tetapi ia tidak berhasil?
Untuk pengangkutan ini ajaran obyektif dipandang terlalu berat,sehingga-juga pembuat Undang-undang memilih teori subyektif tadi.
23.            Tuntutan Ganti Rugi terhadap pengangkut Oleh Pihak Penerima.
Jikalau pengangkut dalam perselisihan-perselisihan antaranya dengan penerima/pengirim,ialah berdasarkan perjanjian pengangkutan,ternyata tidak melaksanakan perjanjian itu secara wajar dan dalam waktu yang ditetapkan;tidak pula berhasil mendiskulpir dirinya,maka sudah barang tentu pihak penerima/pengirim dapat menuntut penggantian kerugian yang diderita, hak menuntut mana terbit dari perjanjian pengangkut tersebut sebagai demikian. Siapa semestinya antara penerima/pengirim itu harus beraksi,pertama-tama tergantung dari factor apakah penerima telah melahirkan kehendaknya untuk menerimaaa barang-barang angkutan,sehingga barang-barang itu harus diserahkan kepadanya. Apalagi kalau dari awal mula telah ditetapkan bahwa pemerintah akan membayar segala biaya angkutan. Di luar hal-hal ini, pengirimlah yang brhak menutut penggantian kerugian yang dimaksud. Umumnya kita dapat menggunakan kriterium: siapakah anatara pengirim/penerima yang menurut kenyataan menderita kerugian,sebagai akibat langsung dari tidak terlaksannya perjanjian pengangkutan (ada barang-barang yang lenyap sebagian atau semuanya; ada kerusakan pada semua barang atau pada bagian; sampainya barang-barang adalah terlambat). Karena itu segala sesuatu tergantung dari hubungan intern antara pengirim dan penerima (pihak dialamti).
24.            Keleluasan Tanggung Jawab Pengangkut.
Misalnya barang-barang angkutan itu telah dijual oleh pengirim kepada pihak dialamati dan harga teah pula dibayar,tetapi barang-barang tak sampai di tempat tujuan. Biaya pengiriman mungkin juga atas beban pembeli tersebut. Kerugian yang harus diganti dalam hal ini ialah harga barang pembelian itu, biaya pengiriman plus laba berapakah pembeli layak dapat harapkan memperolehnya dengan penjualan lagi, andaikata pengriman itu sempurna terwujud dan dapat diterima barang-barangnya pada waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.
Pada pasal 1236 dan 1246 KUH Perdata telah diatur tentang keleluasaan tanggung jawab pengangkut.
25.            Pembatasan Keleluasaan tanggung Jawab Pengangkut .
Hanya kerugian yang layak dapat diperkirakan pada saat perjanjian pengangkutan diadakan; lagi pula kerugian itu harus merupakan akibat seketika dan langsung dari tak terlaksananya perjanjian pengangkutan (pasal 1247 dan pasal 1248 KUH Perdata).
Jadi dapatlah dikatakan, bahwa kesemuanya itu bener-benr harus diperhitungkan demi memenuhi rasa keadilan, terkecuali jika harus diperhitungkan demi memenuhi rasa keadilan, terkecuali jika ada kesengajaan yang jelas akan memberatkan pihak pengangkut dalam menentukan jumlah ganti kerugian.
Adapun tanggung jawab pengangkut tersebut yang kita ketahui sekarang mengenai keleluasaan dan batas-batasnya, sesuai dengan terjadi serta tujuannya perjanjian pengangkutan, mulai dengan penerimaannya barang-barang untuk diangku dan berlangsung sampai dengan penyerahan yang wajar menurut hokum.
26.            Kehilangan yang Diderita dan Laba yang Tak Diperoleh
Pada umumnya pihak yang dialamati tidak berhak untuk menolak penerimaan barang-barang yang rusak pada saat penyerahan atau tidak lengkap jumlahnya, lalu dibiarkan saja pada pengangkut yang kemudian pihak ini dituntut penggantian kerugian berdasarkan atas anggapan, sepertinya kehilangan barang angkutan. Hal ini disebabkan karena penggantian kerugian yang dituntut secara demikian itu adalah tidak berdasarkan kerugian yang nyata menurut asas-asas yang baru saja kita melihat dari pasal-pasal 1246,1247 dan 1248 KUH Perdata. Kehilangan yang diderita dan/atau laba yang diperolehkan itu (124) tak mungkin terdiri atas hal-hal yang diamggap saja,melainkan harus nyata-nyata; lagi pula dibatasi oleh isi pasal-pasal 1247 dan 1248. Pembuat Undang-undang tak menghendaki memperkaya diri pada pihak yang dialamati itu secara melawan hokum (onrechtmatige verijking). Kecuali kalau barang-barang yang rusak itu atau barang-barang yang kurang /berkurang ekonomis tak berharga lagi bagi pihak dialamati, mungkin ia menuntut kerugian penuh sebagai dipersoalkan diatas.
Ada yang berpendapat bahwa pasal 91 KUHD melarang tuntutan penggantian kerugian mengenai laa yang tak diperolehkan karena pasal itu hanya diatur tentang kerugian yang diderita oleh benda-benda yang diangkat.
Meskipun hal demikian tersebut tidak berdasarkan makna pasal tersebut, melainkan hanya terpancang pada huruf-hurufnya.
Bukankah karena kerusakan-kerusakan dan sebagainya itu riil akan lenyap atau sangat berkuranglah nilai benda-benda itu,sehingga tidak mungkin dapat dijual lagi dengan keuntungan yang berarti sebagai layak diharapkan semula? Jadi interprestasi demikian sempit sebagai dikemukakan di atas, harus kita tolak.
27.            Keseksamaan yang Dialamati (penerima) Waktu Menerima Barang-barang Angkutan.
Pihak dialamati harus benar-benar seksama pada saat penyerahan barang-barang angkutan kepadanya, karena apabila ada di antara barang-barang itu yang bercacat dan dapat dan dapat dilihat cacatnya atau ada pula pengurangan jumlah barang yang juga seketika dapat terlihat dengan sekedar keseksamaan, maka sesudah barang-barang termaksud diterima dan biaya pengangkutanpun sudah dibayar, segala tuntutan terhadap pengangkut akan lenyap sebagai kesalahannya penerima sendiri.
28.            Peninjauan Pasal 23 A, B dan Pasal 1337 KUH Perdata.
Pengurangan atau peniadaan tanggung jawab pengangkut Kita dapat mengerti bahwa pihak-pihak pengangkut selalu akan berikhtiar untuk paling sdikit mengurangi pertanggung jawaban mereka terhadap keselamatan berakhirnya perjanjian pengangkutan itu berhubung dengan bertambahnya pengiriman barang-barang, bahkan mereka akan mencoba melepaskan segala tanggung jawab itu. Sudah barang tentu pernyataan sepihak dari mereka akan mencoba melepaskan segala tanggung jawabnya dan dari mereka tak akan berakibat hokum sedikitpun.
Pengurangan atau peniadaan tanggung jawab bagi pengangkut,sekedar perniadaan ini masih diperkenankan oleh Undang-undang atau hokum, haruslah hasil dari persetujuan kehendak kedua belah pihak dalam perjanjian pengangkutan yang diadakan secara sah dan karenanya memenuhi akan segala unsure mutlak untuk adanya sebuah perjanjian pada umumnya, sebagai diisyaratkan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Peniadaan tersebut walaupun misalnya disetujui oleh pihak pengirim, takberkekuatan hokum, apabila peniadaan itu bertujuan melenyapkan pertanggung jawaban pengangkut, juga kalau ketiadaan prestasi atau prestasinya yang tak wajar adalah langsung diakibatkan kesengajaan pengangkut atau ketidak jujurannya. Undang-undang atau hokum tidak mengizinkan penyimpangan yang terlalu/keterlaluan demikian itu, pasal 23 A.B. bsd. Pasal 1337 KUH Perdata.
Tepat sekali bahwa hokum positif kita dengan dua pasal tersebut membatasi otonomi pihak-pihak dalam mengadakan perjanjian pengangkutan.
Dilam batas-batas itu dan karena pasal-pasal 91 dan 92 KUHD, tidaklah bersifat memberikan hokum yang memakasa (dwingend recht), boleh saja dengan persetujuan kehendak kedua belah pihak diadakan Klausula-klausula mengenai pengurangan atau ketiadaan tanggung jawab pengangkut.
Tidakkah merupakan syarat mutlak supaya klausula-klausula termaksud secara khusus diadakan pada ketika mengadakan perjanjian pengangkutan.adalah cukup apabila ketika dapat dianggap memakluminya dan meskipun demikian tidak mengundurkan diri untuk memasuki perjanjian in concreto. Keadaan memaklumi atau dapat dianggap sebagai demikian itu pada pengirim dapat terjadi, jika peraturan-peraturan yang mengurangi atau meniadakan tanggung jawab pada pengangkut itu sebelumnya memang sudah cukup diumumkan oleh pengangkut.
29.            Manfaat Mengadakan Perjanjian Pertanggung pengiriman Barang-barang dalam Hal Risikonya Pengiriman Bertambah.
Mengadakan perjanjian pengangkutan yang membawa penambahan risiko bagi  pengirim itu adalah sebaiknya, apabila pengiriman barang-barang itu, supaya kerugian-kerugian yang kemungkinan ia menderita kerugian dan tidak dapat dipinta penggantian kerugiannya dari pengangkut karena klausula-klausula termaksud di atas, lalu mungkin dpat dipinta penggantiannya tersebut dari penanggung. Tiap-tiap pengirim yang sebagai pihak perjanjian yang baik hendak berikhtiar supaya barang-barang pengiiman sampai dengan selamat ditempat tujuan. Tak akan lupa mengadakan perjanjian pertanggungan kerugian itu, untuk mana ia harus membayar premi yang lazim dan walaupun biaya pengiriman yang ditetapkan antara pengangkut dengan adanya klusula-klusula pengurangan atau peniadaan tanggung jawab pengangkut akan berkurang tetapi pengiriman toh harus bayar premi kepada penanggung atau premi itu akan ditanggung pembayarannya oleh penerima, hal mana tentu tergantung dari ketentuan-ketentuan intern antara pengirim dan penerima.
30.            Perlunya Campur Tangan Pembuat Undang-undang di Suatu Negara
Dalil yang dikemukakan para pengangkut ialah bahwa penurunan biaya angkutan atau biaya yang rendah adalah termasuk kepentingan umum, tetapi adalah kepentingan umum juga,apabila pengurangan atau peniadaan tanggung jawab bagi para pengangkut yang dapat mengakibatkan serba rendahnya biaya itu, jangan sampai membahayakan keselamatan sebagai demikian. Oleh karena hal ini terang termasuk kepentingan umum baik bagi pengusaha, maupun bagi Negara sediri yang sebagai badan hokum mungkin juga bertindak di bidang prive dalam pengiriman barang-barang di darat, perlulah pembuat tanggung jawab para pengangkut.
Dalam lapangan pengangkutan penyebrang laut pembuat Undang-undang telah mencampuri ikut mengatur pembatasan tersebut,hal mana ternyata dari pasal 470 dan seterusnya KUHD ( mengenai pengangkutan Orang).
Patutlah dinegara kita diadakan peraturan-peraturan mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut di bidang pengangkutan di darat pula, semacam yang telah ada dalam pegangkutan menyebrang laut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Atlantica Online – Quest – Answer

Atlantica Online – Quest – Answer 1 – Pharmacist Hwang – 4. When Mercenaries Die : 2 Life Potion 1 – XuRien – 4. The Hellish Spirit’s Name : 1 Fairy 11 – Sima Qian – 4. About Towns : 3 Town Info 12 – Sul Hyang – 3. Someday they will … – 4 Ashen Crystal 12 – Pien Chueh – 8. Research Specimens : 3 Sea Palace 16 – Hu Xue-yan – 5. The Sea Palace’s Second Mystery : 2 Pien Chuen 16 – Hu Xue-yan – 6. Get Motivated! : 1 Will 24 – Jayavarman – 8. Much Later : 2 Wu Tugu 30 – Myne – Quiz 1. Dividing Stacked Items : Shift 2. Shortcut Keys : D 3. Move : NUMLOCK 4. Turn Time Limit : 30 5. Battle Necessities : Action Power 6. Consuming Action Power : Wait 7. Active Mercenaries : 5 8. Magic : Hex of Darkness 9. Quest Confirmation : Quest Log 10. Management Quest : Manager’s Scroll 11. High Level Quest : Vivian 12. Enchant Stone Count : 3 13. Necessities : Will 14. Necessary Will : Level 15. Creating a Guild : 20 16. Market : 16 30 – Taj Mahal Manager – 1

Atlantica Ques

A Angkor Wat is a level 24 Main Quest for Scion of Atlantis mains: Berserker , Bombardier , Dragoon , Knight , Maestro , Mage , Marksman , Reaver , and Riffleman . It begins when the player is told by Hu Xue-yan to talk to Jayavarman . Quest Details Edit Level: 24 NPC: Jayavarman , Boy Monk and Sachen Location: Near Phnom Penh Rewards: Exp: 153,300 Gold: 507,000 Items: Angkor Wat Equipment Box x 10 Ashen Crystal x 60 Commodity Box I x 5 Insect Equipment Box x 2 Life Potion I x 3 Life Potion II x 11 Scroll of Reinforcements II x 5 Quest Title NPC Mission Rewards Help Sachen Jayavarman [Enhancing the Force Field 1] from Boy Monk Experience: 4,500 Gold: 20,000 Life Potion I x 3 Enhancing the Force Field 1 Boy Monk Thread (0/20) from Market Experience: 4,500 Gold: 25,000 Commodity Box I x 5 Talk to Jayavarman Collecting Relics Jayavarman Cloudy Relic (0/50) from Fallen Monk , Evil Monk and Devil Monk Experience: 4,500 Go